Menurut cerita dahulu lontong balap masih dijual dalam kemaron besar
yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, yang berat dan dipikul
keliling kota. Kemaron besar yaitu wadah terbuat dari tanah liat
(dibakar menjadi warna merah bata). Karena bobot kemaron yang berat,
sekarang tempat ini diganti dengan panci yang terbuat dari logam. Para
penjual lontong balap ini, untuk berebut pembeli di perjalanan dan
pembeli di pasar berjalan cepat-cepat menuju pos terakhir di Pasar
Wonokromo, dari jalan cepat ini menimbulkan kesan berpacu sesama penjual
(dalam bahasa Jawa: balapan), dari balapan ini kemudian dikenal dengan nama lontong balap.
Penjual lontong balap pada zaman dulu didominasi oleh penjual dari
Kampung Kutisari dan Kendangsari yang sekarang menjadi wilayah Surabaya
Selatan. Dari Kutisari-lah makanan lontong balap berasal. Kampung
Kutisari dan Kendangsari, pada kenyataannya, keduanya sama-sama berjarak
lebih kurang 5 km dari Pasar Wonokromo. Karena lontong balap dikenal
luas oleh masyarakat dari Pasar Wonokromo yang sekarang berubah nama
menjadi DTC, nama tempat itu pun melekat serta menjadi ciri khas nama masakan "Lontong Balap Wonokromo" yang untuk masa sekarang disebut lontong balap.
Pada masa sekarang lontong balap lebih sering dijual dalam kereta dorong dan warung, meski demikian nama lontong balap tetap tidak berubah. Lontong balap juga adalah makanan favorit orang Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar